Monday, November 30, 2009

persona (part 1)

dia perempuan paling labil di dunia.
saya hanya berani menuliskanya karena dia juga egois dan amoril jika ikut membaca.
satu-satunya perempuan dengan watak yang tidak terukur oleh brainmeter atau tes psikologis bentuk apapun saking tidak mampu menyebutkan ingin atau enggan, puas atau sudah imun. dia mampu membuat tubuhnya macam barang sintetis, mati rasa akan segala tudingan maupun jari tengah yang diacungkan. perasaan untuknya hanya ungkapan, dia harus disakiti secara badan.

aku pertama kali melihatnya di sebuah rental video busuk dekat penginapan mesum yang dituju salah seorang kawanku. rupanya libidonya mengencang karena ditinggal pacarnya berbulan-bulan. dia mengajakku mampir ke sebuah deretan rumah prostitusi di wilayah pelacuran dan obat-obatan di utara jakarta. jangan berkonklusi dulu, libido ku juga ingin tumpah ruah, tapi aku ogah berurusan dengan wanita-wanita yang memperlakukan pria bagai sapi perah.

sore itu kami selesai mengantarkan sebuah plasma raksasa ke perumahan mewah di daerah pluit, temanku vallen tiba-tiba mengajukan gurauan yang sangat keterlaluan. ia ingin merasakan perempuan yang sedang datang bulan. hahahaha rupanya tekanan dari atasan seharian bikin otaknya sedikit edan. tiba-tiba rencana gilanya mengarahkan mobil box kantor yang berisi penuh kulkas, kipas angin, lampu pijar, kompor gas, dan tv plasma, dan barang elektronik lainya ke daerah mangga besar. dia berkilah akan selesai mengantarkan seluruh barang tersebut setelah mampir kilat dan mengecap payudara yang bulat. kami menitipkan mobil
boks ke sebuah perkantoran dengan dalih ingin sedikit berjalan dan mencari makan. tidak lupa satpam yang berjaga kami beri selembar lima puluh ribuan.

setelah memasuki gang-gang yang penuh disisiri bermacam orang, aku berjalan mengikuti vallen yang luwes

mengarahkan kakinya dan masuk ke sebuah gedung bernamakan Grand Lisboa. di dalam kami disambut dua orang security berkacamata hitam yang menanyakan keperluan kami.
"saya mau ketemu ce' rochse".
security tersebut menyuruh vallen menunggu di dalam ruangan di balik pintu sembari berujar pelan melalui wireless mic yang ia sangkutkan di daun telinganya. tidak lama seorang perempuan berambut coklat keemasan dengan kulit muka tertarik kencang dan tidak wajar masuk dan menyapa vallen,
"cinta... kemana aja... tumben kesini bedua, mas mo apply yang setahun apa yang per malem, ato mo sekalian yang platinum card", germo ini belum apa-apa sudah berpromosi pada ku.
"oh iya kenalin ce, ini temen kantor".
"Baron".
si cece menyalamiku sambil meremas genit, aku menoleh kearah vallen.
"len, gua tunggu diluar aja, lo telpon gua aja kalo dah kelar".
"loh kenapa.... ga mau ikut istirahat dulu, biar otot-ototnya lemes".
bibir nya tidak bulat sempurna melainkan berlipat bikin muak.
"engga ce, mo sekalian cari makan diluar, telpon gua ya len ntar". aku berjalan keluar kearah pintu tapi sempat melirik deretan perempuan dalam tabel menu dan pelayanan.

di deretan Grand Lisboa berjajar beragam rumah induk yang terasa lenggang namun mengancam. berbagai jenis pria berjaket kulit dan wanita berkemben sempit lalu lalang dan berdiri di sepanjang gang tersebut. aku melihat sebuah rombong mie ayam di salah satu sudut dan berjalan kesana. aku memesan seporsi mie kuah dan mengeluarkan rokok putihku. baru aku menyadari bahwa rombong mie tersebut menghalangi sebuah pintu berkaca buram dengan neon box hijau bertuliskan vertigo video. pasti ini rental mesum kopian glodok. yah tapi mie kuah itu toh juga masi lama di godok, tidak ada salahnya masuk.

pintu itu beranakan tangga curam ke bawah, sedikit temaram dan bau anggur muntahan. pelan-pelan aku meniti hingga bertemu korden yang berwarna sama kelamnya dengan pencahayaan. dan aku tiba di ruangan persegi panjang dengan rak-rak triplek dan jajaran poster film-film telanjang. aneh sekali kenapa harus ada video stimulan di gang pelacuran, butuh apa mereka tentang rangsangan, lain hal kasusnya jika dipaksa seperti di bank sperma. barisan koleksi dvd disitu cukup tertata rapi berdasarkan abjad. baik dari judul maupun nama rumah produksi. pengetahuanku tentang film biru hanya sebatas menikmati dan ejakulasi, tidak sampai mengatami semua jenis film-film ini untuk dikoleksi. aku menoleh disamping meja kasir dimana terdapat deretan film-film yang sepertinya salah ditempatkan karena tidak berisi kumpulan desahan dan pergumulan.

aku malah melihat koleksi Hitchcock di deretan teratas. vertigo pertama, killer kiss, lady vanishes, dan koleksi fellini, truffaut, dan banyak film classic lainya. terkejutnya aku melihat persona yang dibuat bergman tergeletak di pojok bawah rak tersebut. aku mengambilnya ketika suara perempuan mengejutkanku untuk kedua kalinya,
"rak ini cuma buat ditonton disini, criterion edition jadi bukan blue film kalo mas mau cari lesbian ada di rak ujung sana", gambar film tersebut memang dua orang wanita yang sedang berpegangan.

perempuan tersebut berjalan ke balik meja kasir dan duduk diatas kursi kayu setinggi meja bar dan mengambil buku dan mp3 player miliknya dan melipat kakinya sehingga terlihat berjongkok diatas kursi. aku terdiam mengamatinya namun ia sudah hanyut dalam alunan lagu dan buku. aku meletakan dvd tersebut dan berjalan pelan ke arahnya.
"mmm sori, personanya ga bisa disewain ya?",
dia mendongak dan melepaskan headset,
"apah?!",
perempuan ini tak berumur lebih dari 19 tahun, ia mengenakan celana hitam ketat dan kaus abu-abu joy division. potongan rambutnya mengingatkanku pada artis indonesia tahun 70-an.
"iya, personanya ga bisa gua pinjem ya?".
"oh boleh nonton aja di studio dalem, langsung masuk aja", aku memandang bingung dan berjalan ke arah pintu bertuliskan studio home teater. didalamnya aku menemukan sofa yang robek disana-sini dan tv dengan ukuran inch paling kecil dan satu set dvd player dan speaker yang terlihat berumur tua. bau ruangan itu sama tengiknya dengan ruangan-ruangan sebelumnya tidak pantas disebut studio menonton. aku berjalan mendekatinya sambil berkata "kayaknya ga nyaman deh, kalo gua pinjem besok dibalikin bisa?, berapa biayanya?".
ia melepaskan headsetnya. "sori mas ga bisa, itu koleksi pribadi, jadi mending tonton di tempat aja". ia sudah akan mengacuhkanku dengan mp3 playernya,
"tapi gua pasti balikin, gua tinggalin alamat deh".

perempuan tersebut memasang muka gusar, mungkin ia melihatku tidak akan menyerah dan berdiri kemudian menghadapiku. tingginya tidak jauh berbeda denganku, ketika ia berbicara kusadari ia memulas bibirnya dengan pelembab beraroma daun mint. "mas, film itu bukan blue film. kalo mau nyari yang lain saya bantu carikan, di atas rak itu sudah ditulis kalo film itu hanya untuk ditonton di tempat". "mbak galak amat, kalo yang dimaksud studio ruangan penuh sperma dan muntahan tengik di dalem saya si ga bakal nikmatin filmnya bergman dong, malah kebauan".
dia terlihat sedikit terpana melihat kengototanku, ia berjalan mencari resi di balik deretan kaktus berbagai macam bentuk yang sudah tumbuh setinggi 10 cm. dia kembali dan menanyakan nama dan data diriku.

"baron, sini gua tulis alamat dan nomer telpon", ujarku menyaut bolpoin dan kertas resi.
"kenapa bisa koleksi film-film bagus ini tertimbun di rental mesum?", aku melirik dan menemukan perempuan ini menatap dalam dari atas kepalaku. ia membuang pandanganya ke bawah.
"sebenernya belum pernah ada yang meminjam, murni cuma urusan kesenangan film-film itu di display disitu", ujarnya pelan.
"oooh... ga pengap ya tinggal dibawah sini, ga karu-karuan juga aromanya", aku sedikit mendesis risih.
perempuan itu mengambil resi dan mengembalikannya di balik deretan kaktus dan berjalan mengambil dvd persona ke arah rak.
"kalo kaktus itu aja bisa hidup nyaman disini, gua rasa ga ada masalah buat gua sedikit toleransi sama hidup gua sendiri", ia menyerahkan dvd persona yang masih terlihat mulus dan bersih, "kalo dvd ini ga kembali, gua ga segan-segan mengejar lo ke sudut dunia manapun, hff..", ia melengos pelan dan beranjak ke belakang meja kasir,
aku berbalik, "sori, boleh gua tau nama lo?".

terdengar suara pintu tergerak, dan langkah-langkah di tangga curam, kemudian muncul sesosok tua dengan handuk lemas di sampirkan di punggung, "mas, mienya udah keburu dingin, saya cari-cari saya kira mas lagi main".