Tuesday, November 25, 2008

dramaturgi manusia


saya akuntan. saya pustakawan. saya binaragawan. saya dancer hip-hop. saya clubbers. saya ustadzah. saya kaum sosialis. saya anti metafisika. saya orang rasionalis. saya mahasiswa. saya punya ijazah. saya pro-kapitalis. saya berduit. saya autis. saya hedonis. saya sukses. saya unemployed. saya tuna karsa. saya zombie.

what can define life?

who can narrate your self?




manusia dimaknai berdasarkan persepsi awal mereka tentang dunia, tentang cara kerja tuhan, tentang hitam dan putih, tentang kendor dan menegang. menghasilkan agama, revolusi teknologi, koloni-koloni, stratifikasi. antroposentris.
buddhisme mengajarkan good perception dalam kaidah utamanya, whats the measure of good. semua adalah relatif.
lalu setelah persepsi dikomputerisasi, beranak menjadi tindakan, ucapan, pikiran, asumsi dan lain-lain. jadi mari kita setujui saja inti bualan manusia adalah bagaimana dirinya men-decoding rangkaian ilusi bercerita yang masuk.

jadi dari sudut mana nilai harus di generalisasikan.
tidak dari sudut manapun.


zombie-zombie yang saya kecam tak akan melihat keresahan saya sebagai point yang penting dalam hidup pragmatisnya. kaum fundamentalis yang skeptis akan terus-terus membenturkan diri dengan membuminya agama-agama timur. anak yang labil akan mengacuhkan orang tua yang merasa stabil,namun imbisil. jadi siapa yang harus bagaimana, dan apa yang harus kenapa.

hahahaha tulisan saya terlihat pointless bukan. tapi coba renungkan tujuan anda. seperti protagonis dalam film semua orang pasti punya goal,need,dan desire yang ingin dicapai. toh film juga bentuk imitasi dari alam fisik, alam sehari-hari. tapi bedanya aktor disana sudah baca duluan ending ceritanya, dan bisa ketemu tuhanya, dan ngobrol ama kuli-kuli set-buildernya, membaca bentuk konfliknya, dan mencumbu lawan mainya. sedangkan kita, berimajinasi tentang hari akhir, sampe susah-susah merasionalkan adam dan hawa dan memetafisikan bumi itu bundar.

apa anda termasuk zombie yang bersiklus lahir-sekolah-pacaran-campur-menikah-bekerja-beranak-campur-membesarkan anak-tua-dan mati.
kalau begitu persepsi bukan masalah utama disini, tapi pesan masuk seperti apa yang membuat anda begitu menyedihkan. dicetak oleh kepercayaan bawaan dan studi lingkungankah. sadarkah bumi terbentang bulat-bulat untuk dihidupi bukan sekedar ditinggali. cukupkah mengambil bagian bukan membagi. infiniti jumlah pintu rahasia yang siap untuk ditemukan dan dibuahi. bahkan langit berlapis jumlahnya untuk menaungi misteri.

kita mungkin beda persepsi.
tapi satu yang saya yakini.
saya tidak mau jadi zombie.

mari membaca text film into the wild. tokoh dalam film digambarkan sebagai fresh graduate biasa yang memiliki keluarga yang menyayanginya. setelah merasa menyelesaikan tugasnya sebagai anak, muncul hasrat yang memampat menunggu untuk dikeluarkan. dirinya menafikan segala sesuatu tentang peradaban. ia mengiyakan nafsunya dan melepas segala atribut duniawi dan menghidupi hakekat awal manusia yaitu alam.
contoh lainya ada kisah dari paman seorang teman lama saya. sebut saja om broto. si broto ini dalam umurnya yang ke30sekian bernaluri menjadi pelukis. merobek ijazah dan melawan orang tuanya. ia nekat bermodalkan duit pinjaman dan tiga buah lukisan mengungsi kenegeri mr.sam karena iming-iming teman senimanya disana, bagaimana seni diapresiasi. sial karena paspor palsu, ia mesti mendekam di penjara sebagai imigran legal, beridentitas muslim dan tidak berbahasa inggris sedikitpun. setelah ditebus secara mukjizat oleh teman korespondensi bulenya ia mulai meniti nasib, hingga mampu membawa anak istrinya pindah dan memiliki galeri sendiri.

tokoh dalam film akhirnya mati muda karena memakan tumbuhan beracun. sedangkan broto tidak sempat pulang ketanah air hingga setelah ayahnya meninggal.
meski pilihan mereka berujung pedih. namun mereka memilih.
membuka pintu-pintu yang dicap nyeleneh, tidak waras, tidak realistis oleh peradaban. pintu yang alpha di baui oleh para zombie.


6 comments:

Davin said...

banyak mau
banyak macam
banyak mikir
banyak masalah
ada solusi?

phantasmgoria said...

satu mau
satu macam
satu pikiran
satu masalah
anda terobsesi dengan bilangan 1?

mengompres lapisan dimensi hidup dan berpikir plain begitu mr.davin?

Anonymous said...

kita mungkin beda persepsi.
tapi satu yang saya yakini.
saya tidak mau jadi zombie.

saya pikir tadinya akan ada hal yang pada dasarnya membuat kita sama?

imanologist said...

"numpang sumbang suara"........

hidup memang takdir,,,,

dan siklus hidup juga uda tertulis dalam takdir,,,,

tapi bukan berarti jika kita mengikuti skenario siklus takdir Allah berarti kita bisa "leha-leha" menjadi MAYAT HIDUP MENUNGGU MATI (dalam ketikan diatas disebut dengan ZOMBIE) hanya mengiyakan dan menjalani skenario Allah,,,,

ada perbedaan antara KITA SEBAGAI MAKHLUK BERAKAL, dibanding ZOMBIE HIDUP MENUGGU MATI::: klo ZOMBIE dan tokoh dalam film HANYA menjalani siklus/skenarionya begitu saja tanpa menikmati pemandangan sekitar sepanjang perjalanan mereka,,,
Disitulah bedanya, klo g pgn jadi zombie, maka sepanjang perjalanan ini kita mesti berusaha menikmati pemandangan sekitar (dan tidak berkacamata kuda), atau bila perlu sesekali kita mampir/"menggok" bersinggah di suatu tempat (berbuat sesuatu yg kita suka)....

Persinggahan inilah yg membedakan kita dengan zombie dan tokoh film,,, Kita jadi punya PENGALAMAN LAIN untuk pelajaran idup, sedangkan tokoh film hanya hidup satu kali (selama dalam film, jadi buat apa mereka cari pengalaman lain bersinggah disuatu tempat diluar skenario, toh g buat belajar apa2).

Tapi tetap sembari menjalani siklus/skenario dari Allah tanpa melenceng dari arah takdir/siklus/skenario kita.

Aku Gak Mau Jadi MAYAT HIDUP MENUNGGU MATI yg g melakukan apa2,
Aku Maunya Jadi Manusia Berakal Yang Hidup Berbekal Pengalaman.
Meskipun Allah Telah Menulis Skenario Untuku, Aku Mau Menuruti Skenario Itu Tanpa Jadi ZOMBIE/ROBOT KAKU...

thx

Unknown said...

dramaturgi? fabula kalek

will said...

the best post so far...
alexander supertramp
love this guy, didn't matter how he died, when he died,
he was the one who trully live..
LIVE...
Christopher McCandless
if we admit that human life can be ruled by reason,the possibility of life is destroyed

in 19th century God is Dead
says babeh Nietczhe

in 20th century men is Dead
says opah Erich Fromm