Saturday, October 4, 2008

Life Would Never be Fair

hari ini pikiran pekat seperti tumpukan debu di filter ac. kepala memburat dan badang serasa meriang. untuk anak berumur 19 tahun sepertinya aku mengidap gejala hyperbole dan tidak realistis di banyak hal, menimbang banyaknya serat-serat pikiranku yang sepertinya dilumuri oleh masalah-masala yang datang dan pergi. memijat tombol f5 untuk refresh sepertinya tidak lagi membantu. hmm. kebanyakan orang pasti merindukan masa-masa sma, yang tidak termasuk di dalamnya biasanya tidak tau cara berteman, memiliki keluarga yang nomaden, autis, sekolah-pulang sekolah-pulang, atau apatis. hehehe. tapi buatku yang memiliki masa sekolah menengah atas yang menyenangkan karena tidak diliputi dengan kecemasan menimba ilmu alias sering absen, uang saku mengalir dan kebanyakan dikonsumsi di akhir minggu atau foya-foya setaun sekali, masa-masa dewasa ini melelahkan, dan lebih senang menimpanya dengan lamunan kejayaan masa silam.

jiwa rasanya lebih sering dijangkiti pertanyaan.
pertanyaan eksistensi, cara hidup bermasyarakat,
how to be like this, how to be like that, purpose of life, cara kerja tuhan, tuntutan bawaan keluarga, kepalsuan sejarah mahkluk hidup, piciknya konspirasi, tragedi kesenjangan, perubahan iklim, mengejar gaya hidup, polemik kajian budaya, kaum-kaum ignorant, borjuise-proletar, opsi-opsi relativitas yang muncul tak henti-henti seperti ingin memecahkan otak dan menggetarkan intuisi yang kadang-kadang mati suri.

semua tak sebanding dengan bumi yang terinjak kaki kenyataan selalu bullshit, aku cuma pelajar biasa-biasa dengan lingkup keluarga bukan siapa-siapa. tidak bersinar secara karya tidak melecut secara nama. orang sekecil dan semarginal aku dalam bermasyarakat memikirikan hal-hal yang nonsense dan bahkan tanpa seorang pun yang peduli dan tau terhadap tulisan ini, hahaha, ironis.



5 comments:

Anonymous said...

proses pendewasaan diri itu rumit memang, terlalu banyak pilihan, salah pilih, salah jadi orang, susah dirubah.

kalau saya, saya bosan jadi anak kecil tapi sungkan dewasa. yang penting punya tujuan hidup lah

Anonymous said...

Itu tidak ironis.
Memangnya apa gunanya bersinar?
Memikirkan eksistensi dan cara kerja Tuhan jauh lebih penting daripada bersinar atau menebar senyum layaknya Hollywood star.

Dan kau tidak ironis karena resah.
Kau tidak ironis karena pikiranmu terasa berdebu seperti penyaring AC.

Kita resah karena berpikir.
Dan jadilahdiri sendiri, walau hanya dalam tulisan.

Anonymous said...

tidak ada satu pun di dunia yg ironis kalau memikirkan hal itu dengan positif.

Anonymous said...

Terbilang ironis itu kalo lo mikir kalo ga ada yg perduli sama tulisan lo ini. hmm, berbau agak menutup diri. Mungkin beberpa orang telah membaca tulisan lo ini, cuman ga semuanya bisa komentar, tapi udah mikir. Karna semua orang ga secerdas lo. Merindukan sesuatu dimasa lalu, it's like using drugs for your soul. Addict.

Anonymous said...

dewasa memang tidak enak
karena itulah banyak orang dewasa yang masih menjadi anak kecil karena ketidakinginan mereka 'keluar' menghadapi dunia nyata di depan mata mereka.