Tuesday, October 14, 2008

"Resistensi" going Documenter

previous work of "resistensi"


Ide Pokok : Sadari dan mengerti segala bentuk kebiasaan yang kita lakukan.

Tema : Tentang anak muda jakarta yang sehari-harinya bergaya hidup konsumtif.



Saat ini manusia sudah disibukkan dengan rutinitas dan problem-problem kehidupan. Terutama di kota megapolitan jakarta dimana sehari-harinya seluruh lapisan status sosial mengejar kehidupanya masing-masing. Ketika kemudian gaya hidup lah yang menentukan identitas seseorang maka semuanya menjadi blur dan tidak terbatas. Dari cara berpakaian, berbicara, bergaul, tempat bersinggah, menyaksikan film terbaru hollywood di studio paling eksekutif, menghadiri perhelatan pesta paling mutahir, dan lain-lain. Ini adalah beberapa gaya hidup urban anak muda jakarta, kebetulan kepedulian saya terpusat di umur fresh graduate sampai pekerja umur 20-an akhir. Ciptaan-ciptaan media massa dan disisipi segala kepentingan politik menyetak paradigma konsumtif pada kebanyakan masyarakat dimana konsumtif merupakan anak kandung dari kapitalisme yang muncul pada abad 18 di Inggris dan kemudian menyebar ke penjuru Eropa dan Amerika. Namun sekarang diyakini gaya hidup konsumtif lebih pesat tumbuh di negara dunia ke-3 atau negara berkembang seperti Indonesia jika tidak bisa dibilang negara miskin. Karena toh beberapa orang terkaya se Asia Tenggara diantaranya ada nama-nama pengusaha-pengusaha sukses yang kekayaanya mencapai Milyaran Dollar Amerika (Majalah Globe Asia, Edisi Juni 2008).

Mari kita memfokuskan tulisan ini sebatas sejauh mana di negara ini anak muda-anak mudanya sudah semacam di brainwashed dan selalu gemar menghidupi trend-trend gaya hidup paling baru yang dicontohkan majalah, radio, iklan, film, internet, dan lain-lain. Mereka seminggu tiga kali harus pergi berbelanja yang katanya menghilangkan suntuk, minum kopi di Gloria café, makan sushi di fx plaza, mau makan breadtalk, menikmati musik di dragon fly club, berkumpul bersama teman di lounge paling gress, dan seterusnya. Dengan berpikir sederhana saja bukankah seharusnya remaja-remaja mahasiswa yang belum berpenghasilan tetap itu masih menikmati gaji orang tuanya, namun sudah memiliki standard hidup yang luar biasa tinggi. Bentuk alasanya antara lain adalah agar lebih mudah diterima lingkunganya, agar tidak ketinggalan jaman, agar menjadi seragam, dan kebanyakan malah kehilangan identitas sejati dirinya. Semangat-semangat konsumtif meski disetir oleh uang namun ternyata juga berakar busuk di lapisan status sosial bawah yang tidak berpenghasilan banyak. Mereka di support oleh keberadaan barang-barang imitasi dengan brand-brand terkenal-terkenal untuk tetap bergengsi. Mall-mall tempat aktualisasi diri kelas bawah pun sudah disediakan untuk yang memiliki dana terbatas namun tetap ingin bergaya.

Namun dibalik itu semua mereka bingung dan meninggalkan kesadaran bahwa barang-barang dan gaya hidup yang mereka kejar bukan sesuatu yang bersifat urgent atau prioritas, tidak bersifat primer dan membuat kita berhenti hidup jika meninggalkan atau berhenti mengkonsumsinya. Jadi apa alasan mereka sebenarnya. Apa mereka sadar dengan menghabiskan uang yang tidak berjumlah sedikit mereka telah menjadi budak gaya hidup konsumtif?

7 comments:

Anonymous said...

seharusnya kalau "mereka" mau berubah, harus dari pikiran mereka sendiri yg bersifat tawakal, tenggang rasa, rela berkorban, sederhana, hemat, hal2 yg diajarin di PPKN.
tp orang2 dulu pas diajarin, pada gak mau belajar!?
malah cabut, dicoret2
gimana mereka mau berubah?!

phantasmgoria said...

untuk tm , hehehe, iyasi semuanya berlandaskan pengetahuan moral, cuma sudah lebih complicated lg karna sifatnya rutinitas dan dibawah alam sadar, saya sendiri tidak malu mengakui juga mengejar barang2 yg tidak terlalu prioritas. walaupun tidak melakukan perubahan signifikan dengan mempertanyakan dan menyadari kenapa kita konsumtif saja buat saya itu sudah berupa kemewahan.
tunggu hasil filmnya ya.

Anonymous said...

Kalo yang ngelakuinnya anak muda, sangat jelas tujuannya, aktualisasi diri. Pengen punya identitas yang ga disamain sama orang lain. Kalo tiba tiba ada yang samain, ya ganti lagi. Beda itu keren, biar kalo jalan di mall orang orang pada nengok.

Anonymous said...

itu semuanya dari ego mreka masing2. mreka semua blom pernah merasakan bagaimana rasanya kalo jatuh kebawah gk ada duit. tp nggak smwa remaja2 itu yg suka bersosialisasi elite berfaktor untuk berhura2. ada ya minoritas yg melakukan itu dikarenakan faktor untuk bersilahturahmi dan mencari koneksi2 buat masa depan mreka seperti untuk kerjaan dll. tp kalo untuk anak2 yg suka tiap malam clubbing, memakai tas bermerk and mendatangi acara2 socialite, itu dikarenakan faktor dari keluarga mreka sndiri karna tidak ada yg memberi contoh ke mreka. it is part of their life and without it, hidup mreka hampa...

Anonymous said...

“Beda itu keren, biar kalo jalan di mall orang orang pada nengok.” Kata2 lo bener banget. Ini yg terjadi dalem diri gwe. Bukan disangaja, emang muncul sendirinya. Nyamain barang barang atau kelakuan biar terkesan “kompak” dalam suatu komunitas buat gwe bukan suatu yg bisa dikendaliin. Emg terkadang buat beberapa org yg suka maksain kehendak, buat kembaran sama org yg dikagumin kek/disukain kek/yg dibuat patokan buat dia lah, itu terkesan ga kreatif. Kenapa hrs kembaran kalo bisa nyari gaya sendiri? Tapi Manusiawi aja kok, kita juga ga mau kan keliatan beda2 amad sama tmn2 sekitar lo. Tapi kalo misalnya uda sampe jadi babunya gaya idup konsumtif, yaaaa keren engga, goblok iya. Itu menurut gwe sih. Untung nya *kayanya* slama ini gwe masih bisa kontrol diri gwe sendiri buat ga terlalu idup heboh2 amad, ngerubah sesuatu yg bukan diri gwe. Ya gtu deh pokoknya.

Anonymous said...

iya seh, emang kebanyakan kaya gtu, dan emang susah kalo kita tidak menggeneralisasi atau menyetereotype kan mereka seperti halnya pemerintah dalam menyetereotypekan segala tempat hiburan pada saat bulan ramadhan. Tapi menurut saya kembali lagi ke dalam diri kita bagaimana mau menyikapi dan memandangnya.

O gtu, sory2 kan gw gtau. hehe. oke2 ntar gw g sebut lagi dah. jgn lupa kau tengok blog ku yang laen ya. hehe

Anonymous said...

semua orang butuh sesuatu untuk membuat mereka merasa dirinya lebih baik.semua orang haus akan pengakuan. eksistensi identitas.wajarlah,mungkin..tapi pelampiasan macam ini bodohnya kita tidak sadar bahwa semua yang kita konsumsi nantinya akan kembali mengonsumsi kita.komformitas,barang-barang berprestige.akhirnya memerangkap kita dalam kebutaan bahwa smuanya itu temporary,fana,tidak membuat kita lebih baik dari siapapun..tolol....

btw ditunggu ya filmnya,menarik nampaknya..