Friday, October 30, 2009

Titian serambut dibelah tujuh

Asrul Sani merupakan barisan angkatan ’45 yang masih terus berkarya pada sinema nasional pasca perang. Ia sendiri lahir pada 10 juni 1927 di Rao Mapatunggul bagian utara Sumatera Barat. Ia memiliki berbagai macam latar belakang pendidikan, antara lain mengikuti sekolah teknik di Batavia, sekolah dokter hewan di Bogor, mengikuti sekolah dramaturgi dan sinematografi di Amerika, dan juga masuk tentara. Namun rupanya kebiasaan membaca sastra yunani dalam bahasa belanda dan juga buku-buku terbitan balai pustaka sejak kecil membuatnya menjadi seorang sastrawan yang disegani pada masa itu.

Di sekolah, Asrul tergolong anak yang pintar. Ia dikenal lihai dalam hitung-menghitung dan selalu memperoleh nilai tertinggi dalam pelajaran itu. Karena bakatnya itu, setamat HIS, keluarganya mengusulkan agar ia melanjutkan pendidikan ke sekolah Koningin Wilhelmina School (KWS), semacam sekolah teknik di Batavia (Jakarta). Sebelum berangkat ke Jakarta ayah Asrul meninggal dunia. Benar dugaan ayahnya, Asrul lulus di KWS dengan nilai yang cemerlang. Namun itu tidak berlangsung lama sebab Asrul merasa tidak memiliki bakat dibidang teknik. Asrul memutuskan berhenti dan bersama ibunya ia kembali ke Rao.

Selama di Sumatera, Asrul mengisi hari-harinya dengan membaca buku-buku sastra dan sejarah kesusasteraan Yunani dalam bahasa Belanda. Ia mulai jatuh cinta pada sastra sejak membaca sebuah puisi karya penyair wanita Sappho (penyair abad ke-7 SM). Ibu Asrul kemudian tak ingin melihat anaknya itu menganggur lama. Maka, ibunya menyarankan agar dirinya kembali lagi ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikan. Akhirnya, Asrul yang baru berusia enam belas tahun ketika itu menyusul abangnya, Chairul Basri, ke Jakarta. Ibunya hanya berpesan agar di perantauan ia rajin shalat dan tak lupa berpuasa.

Totalitas jiwa berkesenian terutama film makin menguat pada dirinya setelah Asrul Sani bertemu Usmar Ismail, salah seorang tokoh perfilman. Keduanya sepakat mendirikan Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) yang melahirkan banyak sineas maupun seniman teater terkenal, seperti Teguh Karya, Wahyu Sihombing, Tatiek W. Maliyati, Ismed M Noor, Slamet Rahardjo Djarot, Nano dan Ratna Riantiarno, Deddy Mizwar, dan lain-lain. Sebagai sutradara, Asrul Sani menyutradarai film “Titian Serambut Dibelah Tudjuh” pada tahun 1959. Dan, ia mulai mencapai kematangan ketika sebuah film karyanya “Apa yang Kau Cari Palupi” terpilih sebagai film terbaik pada Festival Film Asia pada tahun 1970. Karya besar film lainnya adalah “Monumen”, “Kejarlah Daku Kau Kutangkap”, “Naga Bonar”,. “Pagar Kawat Berduri”, “Salah Asuhan”, “Para Perintis Kemerdekaan”, “Kemelut Hidup”, dan lain-lain. Enam piala citra berhasil dia sabet, disamping beberapa kali masuk nominasi.

Pada jaman itu film nasional tergantung pada masa kependudukan penjajah, setelah sebelumnya film-film eskapisme muncul pada masa jajahan jepang dan di dominasi oleh pebisnis yang datang dari cina, belanda dan orang-orang minang. Masyarakat tetap menunggu film-film hiburan. Dan juga menunggu film-film berkualitas yang akhirnya kemudian didirikan Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI – 1954). Film ini merupakan salah satu film bertemakan islam yang muncul pada saat itu yang kemudian akhirnya memancing film-film serupa dibuat pada tahun-tahun berikutnya. Chaerul umam juga mendapat berbagai macam penghargaan atas remake yang ia lakukan pada tahun 1982 (dibintangi oleh el manik).

Asrul sani merupakan sutradara yang banyak mendapat pengaruh dari dunia sastra, ia memiliki karakteristik untuk membuat sebuah gagasan besar tentang perjuangan seperti yang sebelunya ia rintis bersama chairil anwar dan ria aripin sesama teman penulisnya. Ia semakin menjadi pesimis dan sinis dalam bercerita dan menjadi semakin personal dalam menyampaikan sebuah cerita. Ia sendiri pernah menjabat sebagai anggota parlemen dari partai NU dan kemudian periode berikutnya partai PPP. Dan Asrul Sani sangat menyukai konflik-konflik psikologis dengan protagonist kebanyakan kelas menengah berpendidikan baik (guru, kyai, wartawan, penulis, kapten, dll). Ia termasuk sutradara yang menggunakan cara bertutur Sturuktur Hollywood Klasik dimana semuah karakter mengalami pengembangan dalam struktur 3 babak dan terdapat kausalitas di dalamnya. Dalam dialog-dialog yang disusunnya, ia selalu menggunakan bahasa Indonesia yang sangat ekspresif. Dalam film-film perjuangan yang ditulisnya, bahasa yang digunakan cenderung bercorak propagandis dan pedagogis (atau dalam bahasa ‘agama’: dakwah) . Hal ini berasal dari tradisi sastranya yang kuat dan kondisi Indonesia saat itu yang baru saja merdeka.

Pada saat itu Asrul Sani yang tergabung dengan LESBUMI (Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia) dengan tekat menggabungkan film dengan ideologi islam didalamnya mampu mebuat santri-santri dari pesantren yang mengenakan sarung dan peci mampu berbondong-bondong menyaksikan bioskop. Asrul sani yang juga ikut memprakarsai terjadinya peraturan akan kuota invasi film-film barat yang masuk ke Indonesia disertai dengan tuntutan adanya pajak tertentu dengan tujuan untuk membangun perfilman Indonesia. Saat menggarap cerita Titian Serambut Dibelah Tujuh (1961) yang kemudian difilmkan, Asrul mengaku bahwa cerita dan film itu merupakan hasil pergulatan keislamannya, dari yang sekadar sekumpulan hafalan dan hukum semata menjadi Islam yang mencipta.

Film Titian Serambut Dibelah Tujuh (1959) ini sendiri berkisah tentang seorang guru agama muda bernama Ibrohim yang sedang melakukan perjalanan dakwah dan singgah di sebuah desa di Sumatera Barat, kemudian disana terjadi hal-hal amoral yang dilakukan oleh petinggi-petinggi desa yang ditakuti dengan memperkosa seorang gadis kemudian menuduh gadis tersebut telah berzinah. Kemudian dikisahkan dari salah satu petinggi adalah pecinta sesama jenis dan memiliki istri yang memiliki nafsu tidak terpuaskan sehingga akhirnya mengincar ibrohim. Yang lebih ditekankan adalah bagaimana masyarakat sekitar menanggapi keadaan social ini, rupanya mereka acuh, dan mereka sudah mengabaikan nilai-nilai social dan keagamaan bahkan salah satu guru mengaji di desa itu pun tidak berani bertindak apa-apa. Dan disini agama juga digunakan sebagai kedok untuk mendapat kekuasaan, sebagai topeng atas kemunafikan. Perjalanan sang guru agama Ibrohim dalam membuka tabir kemusyrikan dan peliknya konflik social di desa itu harus dilewatinya dengan berbagai macam halangan bagaikan menjalani titian serambut dibelah tujuh.

Tokoh ibrohim dalam film ini merupakan seruan dakwah seorang asrul sani, ia mampu menampilkan sosok yang sangat membumi dan rendah hati meski terkadang terlihat lemah dan naïf. Beberapa adegan bisa membuat penonton geram karena tidak langsungnya terungkap kebejatan si ulama tua ataupun sifat dengki istrinya.

Ketika pada jaman tersebut film nasional didominasi oleh film perang yang sangat eskapis dengan gambar yang fantastis dan memilik artis-artis yang sangat rupawan. Rupanya masyarakat haus dan menantikan film-film yang mampu kembali menyebarkan nilai-nilai social yang tidak lupa berintikan ajaran agama didalamnya. Sedangkan asrul sani yang banyak dipengaruhi oleh keadaan sekitar dan pergaulanya pada saat itu percaya bahwa film adalah alat berekespresi dengan bahasa-bahasa sastra.

Banyak sekali nilai yang bisa didapat melalui ungkapan-ungkapan pada dialog pemainya. Bagaimana tokoh Arsyad (si pemerkosa dan pengangguran di desa tersebut) berlagak bijaksana dalam mengomentari pembangunan mesjid. Lalu tokoh Harun seorang saudagar penguasa disitu begitu disegani dan ditakuti bahkan muncul sifat-sifat penjilat orang kecil yang hingga sekarang masih dekat dengan keseharian masyarakat kita. Kemunafikan kehidupan keluarga harun yang sangat tidak harmonis, dimana ia sendiri adalah homoseksual dan istrinya seorang heteroseksual memiliki imajinasi-imajinasi liar yang berkedok islam. juga karakter halimah yang lemah dan tidak bisa berbuat apa-apa terhadap peraturan adat setempat yang cenderung konvesional namun menyimpang dari fakta. Dan yang paling mencolok adalah Sulaiman guru Ibrohim yang memiliki ajaran-ajaran yang penuh kompromi dengan monopoli kekuasaan duniawi Harun. Ia memilih diam ketika Halimah di pasung dan menyelamatkan dirinya.

Nilai-nilai diatas diangkat cukup dekat dengan ajaran agama dengan benteng-benteng yang kuat dalam menghalau nilai barat yang masuk begitu gencar pada masa itu. Bagaimana menyelesaikan kriminalitas dan konflik tajam didalamnya, dan juga membawa rahmatan lil alimin bagi sekitarnya. Menangkap berbagai potret orang islam yang tersebar di seluruh Indonesia khususnya di ranah minang. Bagaimana kita bisa salah menilai sebuah ajaran agama berdasarkan perilaku penganutnya. Melihat penyimpangan arti surat-surat ataupun hadist nabi dalam berkehidupan pada jaman itu.

No comments: