Saturday, September 20, 2008

Orasi laki-laki

dia masih berorasi didepanku. panjang dan tidak berujung. dipacu masalah sederhana, yaitu karena aku lupa mengganti to-do-list miliknya yang tertempel di meja kerjanya. itu adalah tugasku tiap pagi setelah melakukan serangkaian pekerjaan rumah sebelum ia bangun dan sebelum melanjutkan pekerjaan rumah sebelum ia tiba dari pergi.
dia melewatkan satu phone call ke klien pagi ini. ia murka dan sangat kesal. ia mendinginkan bubur gandum buatanku dimeja, menumpahkan susu, dan membanting-banting surat kabar. ada yang menggelikan tentang kejadian pagi ini, aku telah mengalaminya berkali-kali. sangat sering.

"perempuan bodoh tetap saja bodoh, mau bertingkat-tingkat sekolah atau berhari-hari kursus tapi minim kesadaranya tentang melayani suami. nonsense hasilmu menghambur-hamburkan duit mengkoleksi majalah feminist bulanan itu, majalah populer, malah membuatmu kosong dan punya orientasi gaya hidup yang sembarangan. kamu lihat akibat kesalahan besarmu ini bagi hidup kita nantinya, perempuan lancang."

makiannya merupakan narasi besar dalam rumah kami. kami disini bukan berarti keluarga, penggunaan kata kami bahkan terlalu mulia untuk menggambarkan pernikahan ini. krisis identitas dan tak memiliki kemewahan dalam prioritas. semua untuk suami.
saya punya fungsi di rumah ini, jamak. menjaga dan merawat rumah, melayani suami, mengelola kebutuhan domestik tidak memutuskan, dan melayani suami. dia belum ingin punya anak. dia tidak pernah ingin punya anak.

aku hanya diam dan megosongkan pikiranku. hari ini adalah hari yang jelek untuk dimulai dengan mendengar onta tua ini berteriak-teriak bagaimana seharusnya citra keluarga ini di hadapan orang lain. bagaimana istri wajib mematuhi dan membunuh jiwa nya sendiri dan melacur pada dia, suami.

kupingku agak pengang hari ini, semua makianya berdenging dan memantul-mantul didalam dinding rumah siputku. saraf-sarafku mengirimkan impuls satu sama lain jauh lebih agresif ketimbang biasanya. nafasku memburu cepat membuat oksigen tidak menyebar dengan sempurna. aku menggigit lidah dan bibirku sampai menetas darah segar yang kubiarkan tak terhisap. badanku bereaksi tidak biasa. hari ini hari yang buruk untuk membuat orang lain merasa tersudut hai suamiku, tubuhku berontak.

ia masih terus bicara dengan ekspresi seperti hakim pengetuk palu yang tidak dapat sogokan. koran alat ekspresinya sekarang dibalik-baliknya sambil menggerutu tentang banyak hal, tapi kebanyakan adalah masalah wanita. bagaimana bodohnya mereka yang mau diperistri saat perawan berumur 17tahun dan dirumahkan hampir 10tahun. angka yang cukup mengintimidasi bukan. membuat semua pria yang melihatnya merasa menjadi penakluk dan pemilik otoritas penuh akan hidup seseorang.

ia berdiri dan mengambil jas hitamnya, aku maju dan mengenakan jas tersebut ke tubuhnya. aku melicinkan dasi dan kerahnya sambil menunduk dan tidak berekspresi. dia masih berteriak diatas kepalaku. bandot tua itu menyelesaikan pidato nya dan berkata
"bersyukur aku masih mau menghidupi perempuan sepertimu, apa yang akan kau lakukan kalau hidup di jalanan hah?".
dia berbalik dan berjalan menuju pintu keluar.
namun tiba-tiba dia terdiam, dia menghentikan langkahnya. suasana hening, sampai suamiku terpuruk ke lantai dengan sebuah pisau dapur menghujam di punggung bawahnya.

"dan biar aku akan melacur di jalanan"

1 comment:

Anonymous said...

Gwa ga tau, peran si istri sampe nekad bunuh sang suami dan rela idup dijalanan terkesan lemah buat gwa. Sangat bodoh kalo harus sampai membunuh seseorang berdasarkan emosi. Sang istri sangat Kurang kreatif buat ngewarnain jln hidupnya sendiri. Misal, pergi aja senang2 ngapain kek gitu pada waktu si suami pergi. kasarnya, cari aja brondong buat asal lepas dahaga kepenatan yg ada di otaknya dia. kenapa harus terus terpaku dengan kata2 kesetiaan istri terhadap suami? sampah.