Saturday, September 27, 2008

stripper dan anak presiden

di sebuah ujung penantian, mereka meratapi klisenya akhir yang jauh dari ekspektasi. sebuah ujung yang robek dan tercarik karena digilas norma dan nilai hasil kebudayaan manusia. kenapa manusia harus sombong membuat aturan, menjarakan sesama umatnya dengan berbagai klasifikasi peradaban, huh, bullshit.

dimi dan marsal terlentang dada menghadap lukisan langit di pinggir pantai. ombak menghujam sedikit lagi dari jari jemari marsal yang berwarna coklat dan keras, tapi lembut jika membelai marsal. tangan mereka saling bertautan namun dengan posisi tidak bersandingan melainkan kepala sejajar dengan kaki yang lain. mereka menyatu dengan alam, seakan ingin mengubur diri dan hilang karena proses abrasi. rambut marsal yang hitam dan panjang menyerbak di lautan pasir coklat membingkai wajah kurusnya yang putih pucat dan bersudut tajam. ia tidak menangis, dia tidak mampu mentransformasi perasaan yang bentuknya bahkan sudah paling abstrak untuk urusan hati, sakit sekali. jari jemarinya yang sangat kurus membelai dan menggapai ujung jari lelakinya pelan-pelan berusaha masuk ke dalam proses kontemplasi yang panjang dan sunyi.

marsal terpejam mendengar bisikan ombak dan terpaan angin, dia hancur sore itu. menumpuk sudah kemuakannya terhadap pretensi pencitraan manusia, yang harus dimumpuni untuk menjadi bagian dari masyarakat. masyarakat yang semu dan tidak pernah disitu jika hidup tidak berakhir seperti visual media massa, palsu. dia lelah memikirkan ada banyak tangan yang tidak membiarkan dia hidup. setelah campur tangan dan kuasa besar yang katanya meretaskan kehidupan, mesti ada lapisan kedua berupa stigma dan narasi besar yang tidak bisa dihindari jika hidup bersama sekelompok manusia. apa dia harus kabur seperti tokoh dalam film
into the wild untuk tidak harus berurusan dengan peradaban dan memiliki aturan yang dibuatnya sendiri. atau seperti tetua dalam the village yang membangun peradaban kecil dengan ia sebagai kreatornya, hmm. terlalu picik dan simplistik.

"dim, masi disini?"

---

"dim"....

"ya sal, kenapa masih terjaga dan tidak beristirahat?. banyak yang musti kau lalui setelah ini sal."

"harus kita tunduk pada kesalahan manusia, menyerah pada kecongkakan penyimpul-penyimpul dogma?"

"berhenti bertanya. aku muak mendengarnya. bisa kita lalui ini dengan damai?"

---

---

"sepertinya garis di depanku tak teraba, putus dang hilang efek frustasi. aku bingung harus mulai menjejak dari mana. ada yang bisa memulihkanku suatu hari dimi?"

dimi menitikan air matanya, perasaan aneh berpusing di dadanya seperti ada yang melesak keluar setelah diformalinkan dengan paksa. dia bersedih untuk lelakinya, bersedih untuk hatinya yang tak tertolong. dimi bangkit dan duduk menghadap laut yang ombaknya liar. serentak marsal membarenginya dan menatap punggung kekasihnya. air mata dimi melelehkan garis hitam pembingkai matanya yang dalam dan indah. dia terlihat seperti zombie cantik sepulang pesta minum-minum di tahun baru. dia menyeka pipinya.

"ada tangan menulis cerita ini di suatu tempat, menakdirkan cerita yang tragis dan dramatis. yang kita perjuangkan selama ini adalah terpenuhi tuntutan kita dan memilih dengan hak sendiri, bukan digoreskan begitu saja oleh tinta takdir. tapi aku lelah marsal."

marsal terdiam kalah dengan kenyataan. dimi bangkit berdiri dan memandang laut sejenak, melepas perpisahan dengan kekasihnya melalui kehampaan. rambutnya terkibar oleh tiupan angin yang kencang, dan ia menghilang bersama berlalunya angin, menguap dengan udara.

3 comments:

Anonymous said...

marsal : dim, ngewe yuk
dimi : yuk, tapi jangan ditempat umum, nnti ketangkep FPI

phantasmgoria said...

hehehe, kayaknya yang nulis dendam banget ni ama ormas fundamentalis. nyambung aja ama tulisan gua :)

Anonymous said...

sok puitis dah lo..maksud lo apa sih bikin ginian??mau sok2 jadi plato?socrates?aristoteles?cuih..you're so pathetic